Siapa yang meragukan kekuatan kata, apalagi jika ia bernada. Denting-denting kalimat yang lembut, suatu ketika bisa meresonansi dawai-dawai penyakit hati. Dawai itu bergetar menyanyikan rayuan syahwat. Ya, kalau Anda seorang akhwat mungkin tak percaya. Tapi saya seorang laki-laki yang tahu persis bahwa telinga kami adalah pintu syahwat yang terbuka. Kalau tidak, mana mungkin ada klub-klub telepon mesum yang menjadi bisnis neraka itu!

“…Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang ada penyakit dalam hatinya. Dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab:32)

Interaksi tak terhindarkan antara kita, kalaupun perlu suatu komunikasi semoga ia adalah komunikasi yang ma’rif, sehat dari sisi manapun. Mungkin kita terbiasakan bersuara gemulai. Nah, mulai detik ini cobakan ketegasan suara. Datarkan nadanya, perbesar sedikit amplitudonya, dan perkecil frekuensinya.

Catatan lain, tentu kita harus meminimalkan ‘bonus’ komunikasi. Kalau yang diperlukan hanya kalimat “Pekan depan akan ada kunjungan silaturrahim dari Rohis SMU 13”, sebaiknya jangan ditambah menjadi, “Akhi, pada bilangan hari-hari yang menanti di depan kita, sebuah kebahagiaan akan terasa dengan hadirnya rekan-rekan tercinta Rohis SMU 13 dalam silaturrahim yang mengikat hati dan mempertautkan jiwa..”

Surat, e-mail, SMS apalagi telepon dan pembicaraan langsung yang struktur bahasanya seperti ini terlalu ‘bernada’ untuk didengar oleh hati. Saya tahu, sebagian dari kita termasuk orang yang luar biasa dalam memilih diksi dan menyusun kata. Tapi saya kira, ada tempat tersendiri untuk mengapresiasikannya…

Saya ingin, kita percaya kepada Allah yang sudah memberikan batas jelas dalam interaksi ini. ‘Bisikan’ kata-kata tambahan, meski dalam konteks da’wah kita katakan, perlu kehati-hatian ekstra. Mengapa? Karena Iblis sudah berpengalaman sejak zaman Adam dan Hawa. Ya, kehati-hatian itu adalah kesucian niat dalam keridhaan Allah.

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka. Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang memerintahkan shadaqah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak akan Kami berikan padanya pahala yang agung.” (An-Nisa:114)

–Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan,
Salim A. Fillah
————

Sampai di sini mungkin saya cukupkan kutipan ini. Ada hal yang perlu direnungi..

Ya, saya percaya pada kekuatan kata-kata. Dan hal itu membuat saya teringat.

Astaghfirullah…

Jujur, saya termasuk senang merangkai kata-kata, baik menjadi kalimat apalagi membentuknya menjadi sebuah puisi yang menyimpan makna tersembunyi. Saya rangkai dengan manis, lalu saya letakkan atau saya lontarkan dan saya biarkan orang lain menebak isinya. Dan hal itu berulangkali saya lakukan. Entah ‘dalam rangka’ memudahkan suatu konsolidasi untuk mencapai tujuan yang saya inginkan, ataupun sekedar memberikan ‘sesuatu’ yang lain.

Faghfirlii, Rabbi…

Saya takut mengingat; saya takut menghitung barangkali berapa banyak hal yang mungkin terlanggar dengan semua kata-kata itu…

Faghfirlii, Rabbi…

Melalui cuplikan pendek di atas saya merasa tertampar. Ada kalanya kesenangan bertingkah seperti pujangga–kesenangan merangkai kata dapat menyeret diri, atau bahkan orang-orang di sekitar kita pada suatu hal yang seharusnya dapat kita semua hindari.

Melalui entry ini… Saya ingin menyampaikan maaf jika selama ini ada tutur kata saya yang kurang berkenan, ataupun (na’udzubillahi min dzalik) menimbulkan efek seperti yang di atas.

Memang Allah-lah yang Maha Membolakbalik hati… tapi kita sendiri juga punya kewajiban untuk menjaga diri.

Yaa… sama-sama saling introspeksi, ya?